SMA NEGERI 2 BALIGE "to be number one"

Sitor Situmorang

Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik.
Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.
Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.
Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.
Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.
Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.
Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik di Tanah Air.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.
Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.
Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.
Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.
Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.
Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.
Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.
Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.
Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS.
»»  READMORE...

Taufiq Ismail

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya:

1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)

Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).

Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.

Anugerah yang diterima:

1. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
2. Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3.South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5. Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,
Malaysia (1999)
6. Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.
Telepon (021) 8504959
Faksimile (021) 8583190
»»  READMORE...

Biografi Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
»»  READMORE...

Strategi Membaca Puisi

»»  READMORE...

Buku Paket Kelas 10

»»  READMORE...

Keterampilan berbahasa

»»  READMORE...

Menulis Eksposisi

»»  READMORE...

Teknik Penulisan Cerpen

»»  READMORE...

Lembar Kerja

»»  READMORE...

Pengunjung

 
Diberdayakan oleh Blogger.